Pengamat energi dari Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai, upaya Pertamina mengakuisisi PGN adalah keputusan blunder karena semakin memperberat beban korporasi Pertamina dan berpotensi menurunkan harga saham PGN.
"Fluktuasi harga saham PGN dalam sebulan ini lebih disebabkan adanya sentimen negatif terkait rencana akusisi PGN oleh Pertamina," kata Fahmy.
Menurut dia, sampai sekarang fluktuasi harga saham PGN sekaligus bukti adanya penolakan pasar terhadap rencana akuisi PGN oleh Pertamina. Di sisi lain, tindakan akusisi Pertamina terhadap PGN merupakan puncak perseteruan antara kedua perusahaan pelat merah yang berlangsung selama ini.
"Pemicu kondisi itu adalah kebijakan liberalisasi tata kelola gas. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19/2009, Pemerintah membuka peluang perniagaan dan usaha pengangkutan Gas Bumi bagi semua pelaku usaha dalam persaingan bebas terutama dari skema 'open access'," kata Fahmy saat dihubungi dari Surabaya, Minggu.
Ia menjelaskan, pada awalnya memang ada perbedaan pendapat antara Pertamina dan PGN dalam menyikapi kebijakan "open access". Di satu sisi Pertagas sangat bersemangat untuk menerapkan kebijakan tersebut tanpa "reserve". Namun, di sisi lainnya PGN bersikeras tidak menerapkan "open access" secara total pada saat ini.
"Alasannya, masih ada permasalahan teknis dan ekonomis berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur jaringan pipa transmisi dan distribusi yang masih harus diselesaikan," katanya.
Ia menyatakan, apabila tujuan utama Pertamina mengakusisi PGN semata-mata hanya untuk menerapkan "open access" maka upaya korporasi tersebut tidak akan memberikan benefit signifikan bagi Pertamina. Apalagi, semakin menambah beban bagi Pertamina yang sudah memiliki banyak lini bisnis.
"Sementara, sampai sekarang Pertamina sering diterpa berbagai masalah sehingga semakin menjauhkan harapannya menjadi perusahaan minyak kelas dunia," katanya.
Di lain pihak, tambah dia, kini publik juga masih ingat tentang keluhan Pertamina kepada Pemerintah untuk menaikan harga jual LPG 12 Kg sebesar 68 persen lantaran perusahaan minyak dan gas bumi itu menanggung rugi triliunan rupiah selama bertahun-tahun.
"Dengan alasan menutup kerugian itu, Pertamina nekad menaikan harga jual LPG 12 Kg secara sepihak atau tanpa konsultasi dengan pemerintah. Lalu, kenaikan harga itupun dianulir oleh pemerintah hanya dalam waktu lima hari," katanya.
Bahkan, kata dia, ketidakmampuan Pertamina dalam menambah kilang minyak yang sudah dicanangkan sejak bertahun-tahun lalu hingga kini juga tidak pernah terwujud. Dampaknya, Indonesia masih menjadi "net-impoter" BBM dan hal itu semakin membebani neraca perdagangan Indonesia.
"Bahkan, kekalahan demi kekalahan dalam perebutan ladang migas melawan perusahaan minyak asing telah menorehkan stigma bahwa Pertamina dinilai tidak berkualitas mengelola ladang migas di negeri sendiri," katanya.