Thursday, January 23, 2014

Investasi Industri Pengolahan di Indonesia Terus Melejit

Investasi industri pengolahan di Indonesia terus melejit, dengan kebijakan pemerintah mengerem atau melarang ekspor barang mentah, antara lain lewat pemberlakuan bea keluar (BK).

Kebijakan ini membuat industri pengolahan kakao bertumbuh menjadi empat kali lipat, dari kapasitas 100.000 ton per tahun menjadi 400.000 ton. Sedangkan larangan ekspor bahan tambang mentah membuat banyak perusahaan sedang dan akan membangun smelter dengan total investasi Rp 150 triliun. Industri biodiesel sawit juga diperkirakan akan meningkat investasinya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengatakan, sekitar empat tahun lalu, BK sawit, kakao, dan karet diberlakukan. Saat menghadiri pertemuan investasi kakao Eropa, banyak yang mempertanyakan mengapa Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan itu. Indonesia diramalkan merugi karena tidak akan mampu mengolah, dan BK membuat kakao menjadi mahal sehingga tak bisa dijual.

"Nah, dalam acara WEF besok akan kami laporkan kepada mereka, setelah 3,5 tahun, kapasitas pemrosesan kakao melonjak dari 100.000 ton menjadi 400.000 ton lebih. Memang kini tidak lagi bisa ekspor kakao, tapi karena habis dipakai industri dalam negeri, bukan karena kakao menjadi mahal sehingga tidak laku dijual," kata Mahendra di Davos, Swiss, Rabu (22/1).

World Economic Forum (WEF) Annual Meeting adalah acara tahunan para pemimpin negara dan pebisnis dunia. Pertemuan orang-orang penting dunia tersebut, tahun ini, berlangsung 22-25 Januari di Davos, Swiss.

Di sektor pertambangan, Mahendra menjelaskan, BKPM kini sudah mengeluarkan izin pembangunan smelter 28 perusahaan, dengan total investasi sekitar Rp 150 triliun hingga 2-3 tahun ke depan. Sebanyak tiga perusahaan akan menyelesaikan pabriknya pada tahun ini, yakni smelter bauksit, nikel, dan bijih besi.

Sedangkan di sektor kelapa sawit proses hilirisasi semakin ditingkatkan dengan memperbesar pasar dalam negeri melalui penggunaan biodiesel. Lewat mandatori penggunaan biodiesel, industri pengolahan akan meningkat investasinya. Saat ini, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) masih banyak diekspor karena pasar dalam negeri belum berkembang sepenuhnya.

"Sisi rantai pasokan ke depan dan belakangnya juga harus dibenahi. Jika tak dibenahi, tak akan berkelanjutan. Kakao jika tidak diperbaiki perkebunannya, dua tahun lagi kita impor biji kakao, padahal hilirisasi sukses. CPO juga, pertambangan juga," tandasnya.

Mahendra menjelaskan, kunci pembangunan industri pengolahan adalah menerapkan kebijakan yang konsisten. Pihak asing belum tentu mendukung, tapi akan menyesuaikan dan melakukan investasi.

"Dalam forum WEF, kehadiran pemimpin pemerintahan, bisnis, dan organisasi lain bisa untuk menjelaskan perspektif kita. Indonesia kini semakin diperhatikan dan industri pengolahan kita akan menjadi sangat besar. Para pengusaha papan atas dunia ini sudah tahu, namun jika dijelaskan langsung di forum seperti WEF bahwa kita menerapkan kebijakan secara konsisten, mereka akan lebih percaya," kata Mahendra.

Ia menjelaskan, industri pemrosesan komoditas dan tambang akan menarik investasi sangat besar. Hal ini menjadi kontribusi penting untuk pertumbuhan ekonomi ke depan.

"Tahun 2013 kita meraih investasi sekitar Rp 398 triliun. Investasi yang sudah pipeline juga membesar. Tahun ini, investasi bisa mencapai Rp 456-457 triliun atau 15 persen kenaikannya. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 5,8 persen cukup bagus, sehingga tidak menimbulkan ketidakseimbangan dan memang sebaiknya lebih cepat membangun infrastruktur sehingga tidak bottlenecking yang menyebabkan inefisiensi," katanya.